
Keluargaku sama seperti keluarga Batak pada umumnya. Bapakku seorang penetua gereja Batak selain menjadi guru SD sehari-harinya. Mamak seorang nutrisionist di rumah sakit pemerintah.
Seperti biasa, Mamak yang sedang menggilai Facebook mengunggah foto yudisium si Pudan. Di foto itu, si Kakak (adikku nomor 3) merangkul si Pudan. Yang beda adalah Pudan memakai kebaya, kain, rambut disanggul, dan mukanya pakai make up.
Kenapa beda?
Pudan berpenampilan sangat maskulin dalam keseharian. Bahkan banyak teman ngeledekin kalau dia lebih “lakik” dariku. Hahaha. Dia terakhir pake rok waktu SMA. Kalau sekolahnya bisa pakai celana, mungkin gak akan pakai.

Dalam unggahan foto itu, banyak teman-teman mamak meninggalkan komentar. Semuanya sama: cantik Pudan, coba tiap hari begini, at least ke gereja aja pun. Bahkan, abangku (anak pertama) bilang hal yang sama sewaktu si Kakak membagikannya di grup whatsapp keluarga.
See..
Semua orang berharap pada hal yang biasa. Semua punya standar yang sama soal kecantikan: feminim, kebayaan, bergincu, dan bb cream. Tidak ada dalam kamus lumrah kalau perempuan itu naik motor trail, tanpa bedak, kemeja, sneakers, apalagi rokok! Untuk rokok sih aku nggak setuju buat laki-laki ataupun perempuan.
Untungnya Pudan punya hati baja. Tahan banting, disembur api, apalagi celoteh netizen. Meskipun kadang ciut sangkin banyaknya tatapan sinis.
Malam sebelum dia yudisium, aku menelepon Pudan. Aku tanya segala persiapan dan kesiapannya. Dia bilang subuh akan ke salon. Aku tanya apakah dia nyaman apa tidak. “Mau gimana lagi, Dek,” katanya menjawabku. Hatiku meleleh. Air mataku jatuh.
Aku sarankan untuk di-make up tipis dan rambut dirapikan saja. Supaya lebih rapi dan “sopan” aja di depan civitas akademika kampusnya. Aku minta Kakak bawa tissu basah dan pakaian ganti. “Setelah yudisium, kalau sudah tidak nyaman langsung diganti saja,” usulku.

Dia harus memakai kebaya dan kain saat yudisium. Apalagi wisuda akhir bulan nanti. Orang tua kami akan datang ke kampusnya dan menyaksikan dia diwisuda sebagai anak terakhir. Kami bertiga sudah pernah wisuda beberapa tahun lalu.
Setelah itu, aku tanya akan pakai sepatu apa. Dia bilang akan pakai sepatu Wakai (lagi dan lagi, Aku nggak jualan sepatu ya, kebetulan aja emang itu mereknya, hahaha). Aku bilang pake boots aja Pudan. Supaya lebih keren.
Menurutnya, kalau dia yudisium dan wisuda di Jakarta, dengan setelan kebaya dan kain terus pakai boots akan lebih mudah dilewati. Orang-orang akan cuek, bahkan bilang keren, modis, dan jaman now.
Masalahnya adalah dia wisuda di Medan. Banyak orang yang masih berpikir kalau menjadi perempuan maskulin itu salah. Tidak biasa. Tidak mengikuti “kodrat”. Padahal, semua itu konstruksi. Tidak ada yang mengharuskannya memakai rok, melukis alis, hingga bergincu. Tapi, kodratnya adalah haid, memiliki kelenjar air susu, dan bisa melahirkan.
Apapun yang menjadi pilihannya berpakaian atau apapun itu, dia tetaplah Pudan. Anak bungsu dalam keluargaku. Seandainya dia feminim, belum tentu dia akan pintar memasak, mencuci piring, dan membuat kue saat tahun baru.
Pudan sayang, tetaplah jadi dirimu sendiri!

I love you